(Operasi Badai Al-Aqsha) Potret Rivalitas Geopolitik Palestina – Israel dan Negara Sekutu

    (Operasi Badai Al-Aqsha) Potret Rivalitas Geopolitik Palestina – Israel dan Negara Sekutu
    Ilham Layli Mursidi, Penulis

    BANYUWANGI - Konflik yang terjadi antara palestina dan Israel merupakan bagian dari konflik Arab – Israel di kawasan Timur Tengah. Rentetan peristiwa terjadi pada saat kaum zionis melaksanakan kongres pertamanya di tahun 1897 yang diadakan di Basel, Swiss. 

    Awal perseteruan bangsa Palestina dan bangsa Israel muncul pada abad ke 19, tepatnya di tahun 1917, Inggris mencanangkan Deklarasi Balfour yang berisikan janji untuk mendirikan “tanah air” bagi kaum Yahudi di Palestina. 

    Didalam deklarasi tersebut disebutkan kalimat “national home” yang memiliki makna ambigu, hal tersebut diungkap para sejarawan Timur Tengah, salah satunya yakni James Galvin dalam bukunya The Israel-Plestine Conflict, yang menyatakan istilah tersebut tidak kuat secara hukum internasional untuk istilah “Negara”.

    Deklarasi tersebut juga tidak melibatkan pihak Palestina yang kemudian menyebabkan polemik awal antara bangsa Arab dan Yahudi. Terlebih, pada tahun 1948, Israel secara sepihak mendeklarasikan diri sebagai Negara Yahudi yang memancing kemarahan Negara-negara di Timur Tengah termasuk Arab Saudi, Mesir, Suriah, Irak, Yordania dan Lebanon.

    Eskalasi konflik sepanjang abad 19 memunculkan faksi-faksi besar di Palestina atas jawaban ketegangan yang sedang terjadi, diantaranya yakni kelompok Al-fatah yang didirikan oleh Yasser Arafat dan kelompok Hamas yang didirikan oleh seorang Imam Sheikh Ahmed Yasin. 

    Dua kelompok ini sangat berpengaruh dalam percaturan politik Palestina. Meski demikian, kedua kelompok tersebut tidak berjalan beriringan dan memiliki perbedaan yang sangat signifikan dalam hal Ideologi dan gerakan. 

    Al-Fatah memiliki haluan Ideologi nasionalis sekuler dan cenderung memilih jalan Diplomatik sedangkan Hamas berhaluan Ideologi Islam dan cenderung memilih jalan peperangan untuk merebut kemerdekaan Palestina. 

    Secara prinsip, Hamas tidak mengakui kedaulatan negara Israel, berbeda dengan kelompok Al-Fatah yang mengakui kedaulatan negeri Yahudi tersebut. Rivalitas kedua kelompok tersebut semakin memanas ditandai dengan jalinan kesepakatan damai Oslo antara Palestina dan Israel ditahun 1993 oleh PM Israel Yitzhak Rabin dan Presiden Otoritas Palestina Yasser Arafat. 

    Hamas dengan keras menentang kesepakatan tersebut. Sehingga kelompok ini ditetapkan sebagai organisasi ”teroris” oleh Amerika, Israel, Uni Eropa, Kanada dan Negara-negara barat lainnya. Runtuhnya dominasi politik kelompok Al-Fatah di Palestina terjadi pada tahun 2004 ketika pemimpin mereka Yasser Arafat yang juga termasuk presiden Palestina wafat.

    Wafatnya Yasser merupakan momentum penting bagi Hamas mengingat kekuatan politik rivalnya semakin berkurang. Pada helatan pemilu 2006, Hamas memenangkan parlemen Palestina dan merebut kekuasaan Al-Fatah di posisi penting itu. 

    Pasca kemenangan Hamas dalam pemilu 2006, Israel memberikan sanksi-sanksi yang merugikan Palestina seperti Blokade Jalur Gaza, pemberhentian bantuan Internasional kepada Palestina dll. Hal ini yang memicu ketegangan konflik semakin runyam dari tahun ke tahun.

    Baru-baru ini dunia digemparkan oleh berita serangan mendadak Hamas terhadap Israel. Serangan tersebut pecah pada tanggal 7 Oktober 2023. Hamas menggencarkan serangan multi cabang dengan ribuan roket yang ditujukan ke kota Tel Aviv, Askhelon, Yavne, dan Kfar Aviv. Pejuang Hizbullah Lebanon dan kelompok Jihad Islam Palestina (PIJ) merespon seruan Hamas untuk berperang habis-habisan melawan Israel. 

    Diketahui, serangan tersebut di gencarkan pada sabtu pagi ketika kaum Yahudi Israel melangsungkan perayaan Simchat Torah atau hari raya Yahudi. Dalam sebuah pernyataan publik, pemimpin Hamas, Mohammed Deif, mengatakan 5000 roket telah di luncurkan ke Israel. Dia menyebut, roket diluncurkan untuk memulai apa yang disebutnya sebagai “Operasi Badai Al-Aqsa” dengan menargetkan situs-situs musuh, bandara, dan instalasi militer.

    Pertempuran terjadi di darat, laut, dan udara. Serangan heroik ini merupakan respon atas kekerasan yang dilakukan pasukan Israel terhadap masyarakat sipil palestina beberapa tahun terakhir dan berbagai aksi provokatif kelompok Yahudi ekstrim melakukan ibadah di arena Al-aqsa. 

    Eskalasi semakin meningkat setelah PM Israel Benjamin Netanyahu mengancam akan mengubah daerah Gaza Palestina menjadi “Pulau terpencil”. Serangan balasan digencarkan oleh Israel dengan memborbardir kawasan Gaza dan menyerang pos Hizbullah didekat perbatasan Lebanon.

    Disisi lain, pertempuran ini memicu reaksi dunia. Salah satunya sekutu China yakni Rusia. Mantan presiden Rusia Dmitry Medvedev, menyatakan kebijakan luar negeri Amerika Serikat patut disalahkan atas eskalasi terbaru antara Israel-Palestina. AS seharusnya menyalurkan energinya untuk memastikan perdamaian di Timur Tengah namun memilih fokus pada Ukraina.

    Penulis menerjemahkan permasalahan ini lebih kompleks dari sekadar Muslim vs Yahudi, dan tidak bisa dipandang secara dikotomis dari sudut pandang yang sempit seperti itu. Palestina memang mempunyai dukungan moril yang cukup kuat dari dunia internasional tetapi kalah dalam hal dukungan politik. 

    Sebagai contoh, Mahmoud Abbas pada tahun 2011 telah memperjuangkan status palestina sebagai “Negara” didalam forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), namun Abbas harus pulang dengan tangan kosong meskipun diplomasinya mendapat dukungan dari 122 negara anggota PBB. Berbeda dengan Israel yang mendapat dukungan politic power dari Negara-negara barat termasuk back up dari Negara adidaya Amerika Serikat.

    Dalam potret perpolitikan Amerika dan dunia, kita mengenal American-Israel Public Affairs Committee (AIPAC). Lewat lembaga inilah Israel menekan Amerika agar menjaga kepentingan politik Israel dikawasan Timur Tengah. Paul Findley, dalam bukunya Mereka Berani Bicara, Menggugat Dominasi Lobi Yahudi mengatakan bahwa mereka yang berani mengkritik Israel, di AS, akan berada dalam bahaya politik. 

    Opsi yang diinginkan Israel sebenarnya adalah terhapusnya Palestina dari peta dunia dan itu terlihat dengan terus menyusutnya wilayah palestina dengan aneksasi Israel. Sementara Palestina menginginkan tanahnya yang telah di aneksasi oleh Israel bisa didapatkan kembali.

    Ilham Layli Mursidi
    Ketua HMI Cabang Banyuwangi. Bidang Partisipasi Pembangunan Daerah

    banyuwangi
    Hariyono

    Hariyono

    Artikel Sebelumnya

    Berikan Rasa Aman Saat Pelaksanaan Pilkades,...

    Artikel Berikutnya

    Antusiasme Warga Desa Sambirejo Berikan...

    Berita terkait

    Rekomendasi

    Kearifan Masyarakat Bali Sejalan dengan Semangat World Water Forum ke-10
    Para Pemimpin Negara Tiba di Bali Hadiri World Water Forum ke-10
    Menparekraf Ajak Komunitas Bali Ikut Sukseskan Pelaksanaan World Water Forum ke-10
    Hadiri World Water Forum ke-10, Elon Musk Disambut Menko Marves
    Delegasi World Water Forum ke-10 Terpukau Balinese Water Purification Ceremony

    Ikuti Kami